Pakaian adat tradisional sangat terkait dengan pola ideal spiritual yang didasarkan pada ajaran Hindu. Pakaian adat yang sudah dipakai secara turun temurun merupakan suatu identitas dan dapat dibanggakan oleh sebagian besar pendukung kebudayaan. Pakaian adat Bali memiliki beragam jenis, dari pakaian sehari-hari sampai pakaian upacara.
Jenis pakaian tersebut dapat dikategorikan atau dibedakan menurut jenis kelamin, serta menurut umur dan lapisan sosial yang berdasarkan kasta. Pakaian yang ada tersebut juga masih dapat dibedakan menurut jenisnya, dengan menonjolkan ciri tertentu yang biasa dipakai pada bagian kepala, badan dan kaki.
Dalam pergaulan sehari-hari, baik bermain atau bekerja, anak laki-laki Bali diwajibkan mengenakan tutup kepala yang disebut destar atau udeng, sedangkan anak perempuan mengenakan tengkuluk. Istilah lain dari tengkuluk adalah kancrik. Kancrik adalah sehelai selendang yang berfungsi sebagai penutup tubuh yang terkadang digunakan untuk mengangkat beban sekaligus melindungi wajah dari sinar matahari. Kancrik juga digunakan sebagai tengkuluk, yaitu tutup kepala wanita Bali yang berfungsi sebagai alas untuk menyunggi beban. Selain itu juga berguna sebagai alat untuk menahan rambut agar tetap rapi.
Wanita yang sedang menyusui diwajibkan memakai pakaian khusus, yang biasa disebut Anteng, yang berfungsi sebagai penutup bagian dada dari pencemaran dan juga sebagai penangkal kekuatan magis yang dikenal sebagai Desti. Anteng juga digunakan pada upacara-upacara tertentu dengan melilitkannya pada bagian pinggang untuk kesucian pelayanan peribadatan dan bukan hanya sekedar kesopanan dalam berpakaian.
Seorang pendeta berkewajiban memakai pakaian yang bercorak khusus yang disebut dengan pakaian Wastra yang berwarna putih atau kuning atau disebut juga Kapuh dengan memakai ikat pinggang berwarna putih yang disebut Kawaca. Sementara itu, pakaian pendeta wanita menggunakan kain pelekat dengan warna cokelat dengan berselendang putih atau kuning.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar